Pagelaran Tayub
Irama
musik mengalun dengan suara merdu. Suara gong, dipadu kendang dengan irama
rancak saling menjalin, memacu semangat seorang penari Tayub yang bergoyang
tanpa lelah. Tampak mimiknya yang ekspresif dengan geraknya yang gemulai,
mereka berjoget mengikuti irama tembang-tembang Jawa populer. Kadang tampil
sedikit atraktif, yang sangat menggoda perhatian para tamu. Kesenian ini memang
sangat elok untuk ditonton. Seakan mata tak lelah tertuju pada para penari.
Begitulah sedikit gambaran situasi dalam pagelaran tayub.
Salah
satu suguhan musik etnik yang kami angkat dalam siaran di radio komunitas
Kidoeng Rakyat adalah musik gamelan yang di representasikan dalam kesenian
tayub. Tayub begitu popular terutama di daerah pedesaan di jawa, dimana
masyarakatnya masih sarat dan kental dengan tradisi leluhurnya.
Sebagaimana
daerah lain yang masih teguh memegang tradisi leluhur, keberadaan tayub dalam
khasanah kebudayaan masyarakat pedesaan di Gubug juga masih eksis, meski secara kwantitas
pertunjukkan dan kelompok-kelompok seniman yang berkiprah didalamnya mulai
menurun seiring dengan perkembangan zaman.
Pergeseran
ini tidak terlepas dari penilaian minor terhadap pelaku dan penikmat kesenian
tayub yang cenderung di katakan ‘saru’ dan dikesankan ‘jauh’ dari norma
keagamaan, dan puncaknya terjadi pada era 65an. Pada dekade 80-an hingga 90-an
, tayub kembali menjadi perhatian dalam komunitas masyarakat Jawa. Tayub yang
dulunya disebut sebut sebagai “seni pinggiran”, dan “kampungan” perlahan namun
pasti, kembali menarik hati masyarakat jawa. Tayub disebut “kampungan”, karena
pergelaran tayub biasanya ditampilkan di kampung-kampung yang jauh dari suasana
tata cara keraton. Yang biasanya, menunjuk perilaku yang tidak sopan, saru,
kasar, erotic, dan urakan.
Pengertian
Tayub dan Sejarah Tayub
Tayub
adalah salah satu seni pertunjukan rakyat Jawa yang berujud tari berpasangan
antara Ronggeng dan Pengibing. Acara tayuban biasanya diawali dengan penari
wanita. Gendhing yang dialunkan pesinden acapkali terasa kuno. , biasanya yang
digunakan adalah lagu-lagu langgam campursari dan dangdut.
Tayub
pada mulanya merupakan ungkapan kegembiraan untuk menyambut kedatangan tamu dan
merupakan bagian dari pesta rakyat. Kesenian ini berupa pertunjukan yang
berbentuk tari berpasangan antara tledhek atau joged dengan penari lelaki
sebagai penayub. Penari Tayub biasanya mengawali pentas dengan membawakan Tari
Gambir Anom, sebuah tarian klasik dengan gaya lemah lembut. Setelah itu, mereka
menarikan irama-irama yang sedikit rancak. Yang unik dari tarian ini adalah
ikut sertanya para penonton atau tamu untuk menari bersama dengan penari Tayub.
Tamu yang dipandang terhormat biasanya akan didaulat ikut menari dengan
ditandai dikalungkannya sebuah sampur.
Hingga saat ini, Tayub
masih digunakan di beberapa daerah baik di Jateng, maupun di daerah DIY
Yogyakarta.Sedang untuk didaerah Jateng, biasanya yang masih membudidayakan
Tayub yakni di daerah Sragen, Grobongan, Purwodadi, Blora, Pati, Jepara, dan
Wonogiri.
Fungsi
Pagelaran Tayub
Fungsi
pagelaran Tayub menurut apa yang dilakukan oleh leluhur kita dulunya adalah
sebagai berikut;.
1. Upacara Pubertas
2. Upacara Inisiasi
3.Percintaan
4.Persahabatan
5. Upacara Kematian
6.Upacara Kesuburan
7.Upacara Perburuan
8.Upacara Perkawinan
9. Pekerjaan
10.Perang
11.Lawakan
12.Perbincangan
13.Tontonan
14.Pengobatan
2. Upacara Inisiasi
3.Percintaan
4.Persahabatan
5. Upacara Kematian
6.Upacara Kesuburan
7.Upacara Perburuan
8.Upacara Perkawinan
9. Pekerjaan
10.Perang
11.Lawakan
12.Perbincangan
13.Tontonan
14.Pengobatan
Tayub dulunya bersifat
sacral, dan profan/ yang religious.
Pergeseran Tayub
Tayub
kini telah berubah fungsinya dari yang bersifat sacral-religius,ke
profan-sekuler.Kini pergelaran Tayub lebih sebagai seni hiburan, tari
pergelaran, dan tontonan.
Sejarah Kesenian Tayub
Tayub
mulai dikenal sejak jaman Kerajaan Singosari. Pertama kali digelar pada waktu
Jumenengan Prabu Tunggul Ametung. Kemudian Tayub berkembang ke Kerajaan Kediri
dan Mojopait. Pada Jaman Kerajaan Demak, kesenian Tayub jarang dipentaskan. Pada
waktu Jaman Kerajaan Demak, kesenian Tayub hanya dapat dijumpai di daerah
pedesaan-pedesan yang jauh dari pusat kota kerajaan.
Seiring
berjalannya waktu, sejak berdirinya kerajaan Pajang dan Mataram, kesenian ini
mulai digali kembali. Malahan pada waktu itu Tayub dijadikan Tarian Beksan di
Keraton yang digelar hanya pada waktu acara-acara khusus. Namun disayangkan,
penjajah Belanda memasukkan unsur negatif yang dikenal dengan 3C, Cium, Ciu dan
Colek.
Tayub
yang telah terkena pengaruh negatif dari penjajah belanda terus terpelihara
hingga pemerintahan dipegang oleh Sunan Pakubuwono III. Sewaktu pemerintahan
dipegang oleh Sunan Pakubuwono ke IV, beliau tidak berkenan dengan adanya
pengaruh negatif tersebut. Akhirnya Tayub ditetapkan sebagai tari Pasrawungan
di masyarakat. Selanjutnya kesenian tayub mengalami perkembangan di daerah
Sragen, Wonogiri dan Purwodadi. Di daerah Sragen sendiri, kesenian Tayub banyak
berkembang di Kecamatan Jenar, Gesi, Sukodono, Mondokan dan Ngrampal.
Citra
kesenian tayub pada waktu itu, diperburuk ulah para penari pria atau penonton.
Dulu, para penari ini biasa memberi sawer dengan cara memasukkannya ke kemben
atau kain penutup dada. Dengan demikian muncul kesan bahwa penayub itu
”murahan”. Tetapi, di era sekarang hal semacam itu sudah amat jarang terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar