Serat
Wulangreh
Serat
Wulangreh disusun menggunakan tembang macapat. Masing-masing tembang macapat
mempunyai sifat atau watak sesuai dengan penggunaan dan kepentingannya. Menurut
Sardjijo (1991), watak tembang adalah sebagai berikut : tiap nama tembang
macapat mempunyai sifat/watak masing-masing. Oleh karena itu pemaparan atau
penggambaran sesuatu hal biasanya diselaraskan dengan sifat /watak tembangnya.
Sifat tembang macapat itu dapat dikatakan sebagai berikut :
a. Pucung :
Berwatak “kendho tanpa greget”, lucu agak menggelikan, sesuka hati. Cocok untuk
menggambarkan hal-hal yang kurang bersungguh-sungguh, seenaknya dan cocok untuk
memberikan ajaran yang baik “piwulang becik”.
b. Gambuh :
“Rumaket, kulina, wanuh wani”. Cocok untuk mengungkapkan hal-hal yang bersifat
kekeluargaan (sudah akrab), nasihat kependidikan yang mengandung kesungguhan
hati.
c. Pangkur :
Bersifat keras, bergairah “sereng, nepsu, nggambarake kekarepan kang ora
gampang nglokro”, cocok untuk memberikan nasehat yang keras, cinta berapi-api,
cerita hal-hal yang bersifat keras.
d. Durma :
Berwatak “galak, jengkel, utawa muring” keras, marah, bergairah. Cocok untuk mengungkapkan
kemarahan, cerita perang, perasaan jengkel
e. Maskumambang
: “Sedhih, susah, nalangsa, kelara-lara, ngeres-eresi”, sedih, memilukan. Cocok
untuk melukiskan perasaan sedih, memilukan hati.
f. Megatruh :
Bersifat sedih, prihatin, “Sedhih, susah, ora duwe pangarep-arep” menyesal.
Cocok untuk cerita yang mengandung rasa penyesalan, prihatin dan sebagainya
g. Wirangrong :
Bersifat berwibawa, sesuai untuk mengungkapkan keadaan yang mengandung
keagungan, keindahan alam, pendidikan/pengajaran.
h. Mijil :
Berwatak cinta “Wedharing rasa utawa ati”, prihatin. Cocok untuk memberikan
pendidikan/pengajaran
i. Kinanthi :
Bersifat senang, cinta kasih “Seneng, asih, lan trisna”. Cocok untuk
menggambarkan hal-hal yang agak lucu serba sesuka hati.
j. Asmarandana :
Berwatak sedih, cinta asmara ”tersna, sengsem, sedhih, prihatin”, cocok untuk
penggambaran hal-hal yang mengandung kesedihan cinta asmara.Dhandhanggula :
Berwatak luwes, menyenangkan “Luwes, lan ngresepake”. Sesuai untuk
mengungkapkan segala hal/keadaan.
k. Sinom :
Bersifat lincah, “Grapyak, semanak, nanging sok-sok wekasane dadi sereng marga
ora keturutan karepe”. Cocok untuk melukiskan suasana kelincahan, berpidato,
nasihat dan sebagainya.
l. Girisa :
Berwatak gagah, berwibawa, wanti-wanti, sesuai untuk cerita yang mengandung
pendidikan atau pengajaran dan nasihat.
1. DHANDANGGULA
Tembang Dhandanggula dalam Serat
WulangReh terdiri dari 8 pada, inti dari tembang tersebut yaitu “nasihat
tentang mencari guru kebatinan”. Sebagai orang yang belum banyak memiliki ilmu
yang cukup atau masih dangkal ilmunya, kita tidak boleh lantas memberikan
nasihat-nasihat atau ceramah bagi batin orang lain seperti halnya kita telah
memiliki ilmu yang “mumpuni” atau luas hanya karena ingin dipuji, padahal
banyak orang yang mencemooh. Bahkan memaksakan diri dengan menggunakan kata
yang muluk-muluk, padahal seharusnya nasihat-nasihat tersebut dipelajari dengan
tekun.
Tempat rasa
atau batin yang sesungguhnya ada dalam Qur’an, namun itu hanya berlaku bagi
orang yang telah mengerti betul akan makna dan isinya, karena jika
menafsirkannya asal-asalan maka dapat menyesatkan dan kita akan terjerumus
kedalam kesesatan karena telah salah mengartikan. Sehingga apabila ingin
mengerti kita harus berguru kepada yang lebih tahu.
Guru yang
pantas adalah yang baik martabatnya, tahu akan hukum, tekun beribadah, dan
saleh. Terlebih lagi jika bertemu orang yang telah meninggalkan segala nafsu
dunianya dan tidakl mengharap imbalan. Maka itulah orang yang paling pantas
sebagai guru untuk menambah pengetahuan kita.
Apabila ada
orang yang, membicarakan ilmu, namun menyimpang atau tidak sesuai dengan dalil,
hadits, ijma, dan kiyas, maka kita tidak boleh lantas percaya begitu saja.
Namun sebaiknya dipilih yang sesuai dengan empat perkara tersebut disamping masih
ada lagi yag dapat dijadikan pegangan selain empat hal diatas. Namun jika yang
empat hal tersebut tidak terpenuhi, maka akan dapat meyimpang dari aturan pada
akhirnya karena telah merasa pandai. Hanya melakukan sholat saja namun
meninggalkan ibadah yang lain dan meninggalkan syariat dengan tidak
mengindahkan batal dan haram sehingga merusak aturan agama.
2. KINANTHI
Terdiri dari
16 pada, berisi tentang “laku demi kebaikan amal”. Disini dijelaskan bahwa,
kita harus rajin mempelajari dan melatih batin agar bisa pandai mengerti
isyarat dengan cara mengurangi makan dan minum (berpuasa), bersifat wajar,
jangan berkumpul dengan orang-orang berperilaku buruk karena ditakutkan watak
buruknya akan menular. Tetapi walaupun wujudnya sangat buruk namun wataknya baik
maka orang yang demikian itu pantas diakrabi. Supaya bisa mendapat tambahan
pengetahuan darinya. Kita sebagai anak muda hendaknya takut dan hormat kepada
orang tua secara lahir dan batin. Menuruti semua nasehatnya, serta jangan
menolak nasihat-nasihat yang baik. Inti dari tembang ini adalah pesan untuk
berlaku baik. Dimana kita sebagai manusia yang diberi akal harus bisa
menempatkan diri dalam pergaulan masyarakat, harus bisa memilih apa yang
dipilih dan memilah apa yang tidak dipilih, waspada terhadap orang yang baik
sekalipun karena bisa saja ada maksud terselubung di balik kebaikannya serta
mau membuka diri dengan mendengarkan cerita-cerita dan nasihat dari orang lain.
3. PANGKUR
Terdiri dari
17 pada, petuah tentang baik buruk tingkah laku itu telah nampak dalam
gerak-geriknya.
Yang
diwujudkan dalam tembang pangkur adalah kewajiban yang harus dijalankan manusia
yaitu mengetahui perbuatan baik atau buruk dan mentaati aturan-aturan yang ada
dalam masyarakat, berlaku sopan dan perhitungan (bisa mengira-ngira) setiap
tingkah lakunya baik duduk, bangun, pergi, berbicara ataupun tidur. Dalam gatra
ke-4 ditekankan bahwa apabila ada orang yang tidak memakai kira-kira dalam
perbuatannya, kasar, suka sekehendak sendiri, tidaklah pantas berkumpul dengan
orang yang banyak karena pada akhirnya akan membuat celaka.
Sehubungan
dengan sopan santun dan budi pekerti, tindak-tanduk seseorang dapat dilihat
dari pembicaraan dan sikapnya. Maka jika kita tidak bisa berbicara baik maka
akan lebih baik jika kita diam. Jangan bisanya cuma membeberkan kejelekan orang
lain kemana-mana, kebaikannya disembunyikan dan kebaikan sendiri ditonjolkan,
orang yang seperti itu adalah orang yang picik, dan serakah, tak pernah
mempunyai kepuasaan dalam hatinya. Jangan pernah memiliki watak yang : 1)
licin, 2) lemer, 3) genjah, 4) angrong prasanakan (merongrong persaudaraan), 5)
nyumur gumuling= ibarat sumur yang digulingkan dan 6) ambuntut arit : ibarat
berekor sabit.
Karena
kesemuanya itu menunjukkan perwatakan yang tak bisa membawa seseorang kepada
keselamatan. Yang dinamakan licin adalah orang yang tidak punya pendirian yang
tetap, sehingga sukar sekali diikuti maksudnya, dan tidak bisa dipegang
pembicaraanya. Sedangkan yang dikatakan lemeran adalah orang yang wataknya
seperti pelacur, genjah adalah orang yang senang berganti-ganti pekerjaan
tetapi semuanya tak ada yang selesai, angrong prasanak (merongrong
persaudaraan) ialah orang yang sedang memperkosa istri dan saudaranya atau
pembantunya sendiri serta sahabat dan teman-teman sendiri, memperkosa disini
berarti memperkosa hak. Nyumur gumuling ialah orang yang sembrono, tidak bisa
menyimpan rahasia, setiap ada keramaian akan selalu membeberkan semua rahasia
yang diketahuinya dan pastinya segala yang diucapkannya hanya untuk mencari
keuntungan dirinya sendiri.
4. MASKUMAMBANG
Terdiri dari
34 pada, berisi nasehat sesembahan yang harus disembah. Dalam tembang
maskumambang tersebut disebutkan bahwa sesembahan yang wajib disembah itu
adalah :
1. Orang tua,
ayah dan ibu harus disembah (dimuliakan), karena mereka menjadi perantara bagi
keberadaan kita dimuka bumi. Bahwasannya di dalam hidup ini kita bisa pandai
itu karena kodrat Tuhan YME.
2. Mertua,
karena telah memberikan nikmat yang sejati karena menghasilkan keturunan juga
karena mertua adalah orang tua kita dari istri/suami.
3. Saudara tua,
karena sebagai ganti dari orang tua, apabila mereka telah tiada.
4. Guru, karena
beliau yang memberi petunjuk-petunjuk tentang jalan kehidupan sampai akhir
hayat, penerang kegelapan serta menunjukkan jalan menuju kemuliaan.
5. Raja, karena
bisa merencanakan mati dan hidup seseorang, serta yang memberikan penghidupan
berupa sandang dan pangan. Kata “raja” di sini bisa diartikan yang berkuasa,
atau pada saat ini (sekarang) pemerintah.
5. GAMBUH
Tembang
gambuh berisi uraian tingkah laku yang buruk, orang yang tak menghiraukan
nasihat-nasihat dan berlaku seenaknya. Kita tidak boleh melakukan tindakan yang
tidak jujur karena dapat membuat celaka. Lebih baik jika mencari nasihat yang
benar yang walaupun berasal dari orang yang rendah derajatnya namun jika
nasihat itu baik perlu untuk ditaati juga dan diikuti.
Ada
perumpamaan yang menyebut “adiguna” yang hanya mengandalkan kesaktian seperti
ular, “adigang” yang mengandalkan kekuasaannya seperti halnya kijang dan “adigung”
yang mengandalkan kebesarannya seperti gajah. Semuanya itu adalah perumpamaan
bahwa kita tidak boleh menggunggulkan diri, karena pada akhirnya akan
menjadikan diri kita sendiri menjadi hina. “Adiguna” mengandalkan kepandaiannya
sehingga menganggap orang lain bodoh, padahal dirinya sendiri bodoh. “adigang”
yaitu memamerkan keberaniannya padahal jika ada yang berani menantang dirinya
tidak berani sehingga menjadi cemoohan orang saja.
Orang hidup
seharusnya menghindarkan diri dari watak tersebut dan memiliki watak halus,
sabar, berhati-hati dalam bertindak dan memikirkan dengan teliti serta waspada
terhadap gelagat orang lain. Karena ketiganya seperti yang disebutkan diatas,
akhirnya mati semua bersama kemampuan yang dimilikinya. Semuanya itu tidak pantas
untuk ditiru dan merupakan sifat yang ada pada anak muda yang tidak dapat
mengendalikan diri dan mudah terjebak jika telah disanjung. Jika anak muda
disanjung, akan menjadi semakin tinggi hatinya dan makin sombong. Padahal orang
yang mennyanjung hanya menjilat saja dan demi pamrih tertentu walau dengan
menghalalkan segala cara. Setelah mendapat apa yang diinginkan, kemudian akan
menakuti orang lain dengan bualannya itu agar mendapat keinginannya lebih
banyak lagi.
Orang-orang
seperti diatas tidaklah pantas untuk bergaul dengan orang yang terhormat atau
seorang pemimpin, karena pada akhirnya akan melakukan hasutan demi melakukan
kehendaknya. Padahal orang seperti itu seharusnya dihancurkan. Selain itu
jangan pula banyak berjanji dan membual dengan menyombongkan diri dan merasa
banyak orang yang menyanjung, padahal orang yang telah tahu kebenarannya
memalingkan mukanya. Sehingga janagnlah memiliki watak yang demikian, karena
pada akhirnya kita akan ditandai oleh orang lain sehingga orang yang tahu akan
diri kita yang sebenarnya tidak akan ada yang percaya.
6. MEGATRUH
Biasa juga
disebut dengan “Tembang Duduk Wuluh” terdiri dari 18 pada, berisi nasehat
perihal mengabdi kepada raja. Mengabdi kepada raja itu berats ekali, harus
ikhlas, taat dan setia serta melaksanakan segala perintahnya. Sebab raja itu
ibarat wakil Tuhan, menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum dan adil. Jangan
dulu memutuskan untuk mengabdi apabila belum mempunyai modal seperti disebutkan
di atas.
7. DURMA
Terdiri dari
12 pada, berisi tentang “larangan jangan sampai mencela dan membuka aib orang
lain” atau “ nasehat tentang hubungan antar manusia”.
Ada tiga hal
atau tiga macam larangan, tetapi yang keras dari tiga macam itu diuraikan
sebagai berikut:
1. Jangan
sekali-kali suka menyanjung, serta janganlah suka mencela sampai keterlaluan.
Apabila ada orang yang memuji jangan lekas senang dulu, sebab, apabila tidak
terbukti akan menjadikan cacat nama. Kalau bisa, usahakanlah jangan sampai
memuji, tetapi jangan pula mencela.
2. Jangan suka
menghalangi pekerjaan orang lain, hanya tindakannya sendiri saja yang tidak
dihalangi, karena merasa dirinya paling benar. Meskipun benar, tetapi apabila
itu dilakukan oleh orang lain pasti dikatakan salah. Sifat itu menandakan orang
tersebut mempunyai watak buruk, karena maunya benar sendiri
3. Jangan suka
acuh terhadap keadaan di sekitar, apabila ada siapa saja yang khilaf maka harus
diingatkan.
8. WIRANGRONG
Terdiri dari
28 pada, berisi tentang nasehat “berhati-hati dalam berkata dan memilih kawan”.
Dimana dalam
tembang ini dijelaskan tentang larangan-larangan hidup antara lain: masalah
mengucapkan kata-kata, larangan melakukan madat, berjudi, mencuri, main
perempuan serta mabuk-mabukan.
Di situ juga
disebutkan masalah pantangan untuk membuka rahasia di depan wanita, karena
kebanyakan wanita tidak kuat menyimpan rahasia, sehingga kadang-kadang bisa
menjadi sumber kehebohan.
9. PUCUNG
Terdiri dari
23 pada, berisi tentang “peringatan untuk kelakukan dan rukunnya persaudaraan.
Tembang
pucung adalah pengembangan dari tembang Wirangrong. Di sini dijelaskan
bahwauntuk membina rukunnya persaudaraan, haruslah menjaga perkataan agar tidak
menyinggung apalagi menyakiti perasaan orang lain. Sebab kata-kata yang sudah
keluar tidak bisa ditarik kembali. Oleh karena itu harus berhati-hati bila
bicara, jangan terlalu sering mengucap sumpah. Karena kalau tidak ditepati maka
akan menjadi aib bagi diri sendiri dan orang lain tidak akan percaya padamu
lagi sekalipun sumpah yang diucapkan itu benar. Jangan pula sekali-kali mengucapkan
kata “tobat’, karena itu akan mencelakakan diri sendiri.
Seperti
dalam Tembang Wirangrong, isi dari tembang Pucung selanjutnya yaitu larangan
melakukan madat (obat-obatan terlarang), berjudi, mencuri, main perempuan dan
mabuk-mabukan. Dan janganlah membuka rahasia di depan wanita, karena kebanyakan
wanita tidak kuat menyimpan rahasia, sehingga kadang-kadang bisa menjadi sumber
kehebohan. Seperti kita tahu bahwa larangan-larangan tersebut juga ditekankan
dalam Al-Qur’an, selain karena memang tidak diperbolehkan oleh Islam sendiri
hal tersebut juga hanya akan merugikan si pelaku itu sendiri. Oleh karena itu
kita harus menghindari larangan-larangan itu sebisa mungkin dengan cara
mendekat diri kepada Allah dan menghindari lingkungan dan orang-orang yang mendukung
kegiatan tersebut.
10. MIJIL
Terdiri dari
26 pada, berisi tentang “nasehat baik buruknya orang menerima dan tidak
menerima takdir”.
Dijelaskan
bahwa, sebaik-baik orang adalah yang menerima takdirnya, jangan sampai tidak
menerima takdir hanya karena tidak sesuai dengan keinginanya. Oleh karena itu
diperlukan sikap sabar, tenang, baik budi, dan yang tak kalah penting adalah
pandai dalam segalanya. Menerima di sini bukan berarti pasrah melainkan harus
ada usaha juga untuk merubahnya, sikap menerima yang hanya menerima tanpa
melakukan apapun ini adalah buruk. Diibaratkan seperti orang bodoh yang tak
pernah mau bertanya. Sikap menerima yang baik adalah seperti orang yang
mengabdi kepada raja lama-lama tercapai tujuannya, bisa menjadi mantri, bupati
dan sebagainya.
Orang yang
tidak menerima takdir namun akhirnya menjadi baik adalah diibaratkan sepeti
orang yang mencari ilmu. Dimana orang yang mencari ilmu, mencari dan terus
mencari tak mengenal rasa puas dalam dirinya hingga tercapai apa yang menjadi
tujuannya. Dan hal itu juga diterapkan dalam hal pekerjaan yang dilakoninya
selalu mengandalkan semua yang telah dikuasainya. Dalam melakoni pekerjaan ini
terapkanlah sikap sabar supaya selamat. Seklai lagi dalam gatra yang ke-23
ditekankan lagi mengenai hal mencari ilmu karenailmu akan menjadi kekuatan
karena orang yang berilmu pasti bisa membedakan mana yang baik dan buruk.
Selain ilmu pengetahuan ilmu sariat juga tak kalah penting karena ilmus ariat
merupakan wahana yang tepat, semua ilmu termuat didalamnya.
11. ASMARANDANA
Terdiri dari
28 pada, berisi tentang nasehat “Petunjuk Tingkah Para Pegawai Negara”.
Dijelaskan
bahwa modal dasar untuk menjadi pegawai selain memiliki kemampuan yang mumpuni
dalam bidang tersebut, ada lagi yang lebih penting yaitu orang yang beragama
dan benar-benar melaksanakan agamanya. Apabila seorang pemimpin/pegawai sudah
berpedoman pada agama maka ia akan menjadi pemimpin yang baik. Tunaikanlah
rukun Islam, jangan suka mengganggu pembicaraan, sewenang-wenang dan menghina,
jangan pula sombong dan merasa dirinya sudah yang paling benar, dengarkanlah
nasehat orang lain. Jangan bertindak sok jadi penguasa, gunakanlah cinta dalam
memimpin, jangan gegabah dan berlakulah adil. Jangan suka pamrih. Ikhlaskanlah
dalam setiap mengambil keputusan maka takan ada yang namanya korupsi.
Sesungguhnya kesemuanya itu juga dibahas dalam agama.
12. SINOM
Terdiri dari
33 pada, berisi tentang “Contoh-contoh cita-cita”.
Dijelaskan
bahwa dalam menuju cita-cita itu tidak mudah. Harus susah dulu baru bisa
mencapainya. Dengarkanlah nasehat orang tua juga guru, dan janganlah lupa
kepada leluhur, kurangi makan dan tidur (puasa). Rajin-rajinlah, karena orang
yang rajin pasti akan berhasil. Sebagai contoh orang yang akhirnya berhasil
adalah Ki Ageng Tarub dan Panembahan Senopati. Sabar, itu juga harus dilakukan,
memohon kepada Yang Maha Kuasa itu kuncinya selain berusaha, karena Tuhan yang
menetukan segalanya.
13. GIRISA
Terdiri dari
25 pada, berisi tentang “Peringatan dan doa untuk anak-anak (keturunan)”.
Seperti
layaknya nasehat/petuah pasti berisi anjuran untuk berbuat kebaikan. Dalam
tembang Girisa ini juga demikian, yaitu berisi nasehat dari Kanjeng Susuhunan
Pakubuwana IV kepada putra-putrinya. Inti dari nasehat beliau adalah: mematuhi
nasehat orang tua, menerima takdir, karena kedudukan, rejeki, umur dan jodoh
sudah ditentukan oleh Tuhan. Jangan pernah melanggar perintah Tuhan karena bisa
celaka di Lokilmahful nanti. Bila akhirnya belum tahu/mengerti, sekiranya
tanyalah kepada ahlinya yaitu orang yang tahu tentang isi kitab supaya jadi
tahu tentang kewajiban dan larangan yang harus dipatuhi dan ditinggalkan. Harus
sering-sering berkumpul dengan orang soleh (ulama), walaupun tak bisa seperti
mereka, setidaknya bisa belajar menuju ke yang lebih baik. Tanyalah yang tidak
diketahui, cara bersopan santun, berbicara dan bertingkah laku yang baik.
Kanjeng
sinuwun juga menganjurkan supaya putra-putri dan anak cucunya kelak menjadi
orang yang pandai dengan cara sering membaca, membaca apa saja, buku-buku lama
juga banyak manfaatnya. Misal saja babad, dari babad dapat diketahui perjalanan
para pejuang juga para wali yang tangguh dalam perang dan jangan malu bertanya.
Dalam tembang ini juga ditegaskan supaya putra-putri beliau jangan sampai
meniru beliau karena itu merupakan kerugian menurut sinuwun sendiri.
Pada gatra
yang ke-14, beliau memanjatkan do’a dan harapannya supaya keturunanya diberi
keselamatan dunia dan akherat, kebahagiaan, panjang umur, banyak anak, banyak
rejeki dan selaludi penuhi cinta kasih dan menjadi panutan bagi orang banyak.
B. Resepsi
Sastra Serat Wulangreh
Resepsi
sastra dapat diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Resepsi
yang diterima pembaca berbeda-beda dalam menilai suatu karya sastra. Penyusun
memilih menggunakan teori resepsi sastra dalam mengkaji Serat Wulangreh ini
salah satu tujuannya supaya masyarakat lebih mengenal dan mau mempelajari karya
sastra, khususnya karya sastra jawa klasik Serat Wulangreh.
Adapun dalam
menganalisis karya sastra Serat Wulangreh ini dengan menggunakan teori resepsi
sastra, yang penyusun membagi kajiannya dalam 2 bagian pengkajian, antara lain
sebagai berikut:
1) Wulangreh
sebagai karya adiluhung
2) Wulangreh
dalam budi pekerti
Ketiga
bagian pengkajian tersebut akan dijelaskan dibawah ini.
1. Wulangreh
Sebagai Karya adiluhung
Bagi
masyarakat jawa, sastra klasik merupakan sastra yang tersusun apik dalam bahasa
yang indah. Tidak heran jika sasta jawa klasik tidak hanya mengutamakan isi,
tapi keindahan bahasa juga menjadi perhatian sang pujangga. Karya sastra yang
terlahir melalui pengolahan rasa, dan laku tapa disebut sebagai sastra
adiluhung, atau sastra yang mempunyai apresiasi seni tinggi.
Sastra
adiluhung ini tidak pernah lupuk dimakan usia, sarat sejumlah nilai simbolik,
dan dikenal sepanjang masa bagi peradaban umat manusia. Seperti Serat Wulangreh
ini, sampai sekarang masih tetap dikenal masyarakat luas meskipun zaman sudah
modern dimana banyak para generasi muda sebagai penerus kebudayaan bangsa
banyak yang enggan untuk mempelajarinya, mereka lebih senang dengan kebudayaan
modern yang mreka sebut dengan zaman globalisasi zaman yang serba “gaul”
menurut anggapan mereka. Mereka menganggap bahwa karya sastra seperti Serat
Wulangreh sebagai ketinggalan zaman, kuno, tidak gaul, dll mereka lebih senang
dan bangga apabila menyayikan lagu- lagu modern seperti lagu-lagu Peterpen,
Dewa, Slank, Mulan Jamelaa, juga lagu-lagu lainnya yang menurut anggapan lebih
enak dan lebih mudah dinyayikan.
Sebenarnya
suatu karya sastra itu tercipta bukan bukan dari ruang hampa, juga bukan produk
instan, duplikatif,dll. Penetrasi budaya juga turut membangun karya sastra
seperti realitas sosial dipengaruhi oleh sstra tersebut. Serat wulangreh
merupakan penetrasi budaya jawa yang diakulturasikan dengan Agama Islam.
Wulangreh
termasuk karya adiluhung karena hadir melalui sejarah, ruang, dan waktu.
Demikian pula objeknya adalah realitas kehidupan, meskipun dalam menangkap
realitas tersebut sang puangga tidak mengambilnya secara acak. Beliau para
pujangga memilih dan menyusun bahan itu dengan berpedoman kepada tujuan dan
asas tertentu. Dalam Serat Wulangreh ini misalnya menyerukan umat manusia agar
senantiasa waspada, karena sikap waspada akan mencegah tingkah laku dan
ucapan-ucapan yang tercela.
Memang tidak
dapat disangkal lagi, pembaca atau masyarakat menerima karya sastra yang dengan
baik. Terbukti hingga sekarang Serat Wulangreh masih tetap eksis didunia sastra
walaupun muncul karya-karya sastra baru.
2. Wulangreh
Dalam Budi Pekerti
Serat
Wulangreh ini berisi mengenai etika yang luhur, yang mampu menghaluskan
rohaniah , mempertajam visi, misi, dan ruang imajinasi, membuat manusia santun
jiwanya, bertambah pengetahuannya, berkepribadian mulia, dan luas jiwanya.
Dalam Serat
Wulangreh ini tersirat ajaran menjadi orang terhormat. Hidup orang tidak akan
mempunyai cacad dan rela apabila batinnya selalu waspada. Kewaspadn batin yang
terus menerus itu akan mencegah perbuatan yang tercela. Mengurangi makan dan
tidur merupakan latihan yang utama untuk mendapatkan kewaspadan dalam batin.
Selain kewaspadaan batin itu, juga harus diimbangi dengan menghindari tingkah
laku yang tidak baik, yaitu watak adigang, adigung, adiguna.
Ø Adigang
adalah mengandalkan kepintaran, seperti seekor rusa yang hanya mengandalkan
kecepatan dalam larinnya.
Ø Adigung
adalah sombong mengandalkan tubuh besarnya, seperti seekor gajah yang tubuhnya
paling besar dibandingkan dengan hewan-hewan lainnya.
Ø Adiguna
adalah sombong mengandalkan kekuatan jasmani dan rohaninya untuk mengalahkan
orang lain, seperti ular yang mengandalkan bisanya.
Sebaiknya
manusia itu harus senantiasa memelihara watak “Reh”, brsabar hati dan “Ririh”,
tidak tergesa-gesa dan berhati-hati. Kelakuan yang menguntungkan diri sendiri
dan merugikan orang lain harus dihindari, seperti berbohong, kikir, dan
sewenang-wenang.
Jika
batinnya telah waspada, tingkah lakunya harus sopan. Tingkah laku sopan ialah
tingkah laku yang:
o Deduga : dipertimbangkan
mask-masak sebelum melangkah
o Prayoga :
dipertimbangkan baik buruknya
o Watara :
dipikir masak-masak sebelum mmengambil keputusan
o Reringa :
sebelum yakin benar akan keputusn itu, jangan gegabah
Wulangreh
mengajarkan pula bahwa siapa yang ingin menjadi pemimpin haruslah ia menjadi
ibarat laut, yang tidak akan habis airnya walaupun diambil airnya setiap hari.
Ajaran ini diterima masyarakat yang pada waktu itu sedang terjadi krisis
kualitas melanda istana-istana jawa sejak permulaan abad ke 19, meluas ke
bidang seni dan budaya. Jika dikaitkan dimasa sekarang, ajaran ini juga tidak
salah. Sekarang di Indonesia masih terjadi krisis kepercayaan, krisis sosial
dan juga budi pekerti.
Wulangreh
dikemas dalam suatu kemasan etika yang ideal, yan dianggap sebagai pegangan
hidup yang seharusnya dianut masyarakat, terutama para pemimpin. Oleh sebab
itu, pemimpin harus berhati luas dan lapang, sangup menampung dan memaku
negara. Ia harus menjadi pohon rindang, tempat siapa saja berteduh dan
bernaung.
Memang
menghidupkan budaya kualitas bukannlah pekerjaan yang mudah. Sekalipun
demikian, ia dapat ditimbulkan sama halnya dengan jiwa kepemimpinan. Kitapun
terkadang mendengar budaya kualitas hanya sekedar slogan saja. Demikian
puladengan pembudidayaan kualitas, diperlukan proses panjang yang harus
ditempuh dengan tekad, perjuangan, pengalaman, pembelajaran, ketekunan dan
kerja keras. Kesediaan untuk belajar dan mendengarkan adalah langkah pertama
untuk menjadi pemimpin dan menumbuhkan budaya kualitas.
Jadi memang
besar sumbangan pemikiran Serat Wulangreh terhadap keluhuran budi pekerti.
Terutama budi pekerti seorang pemimpin, untuk dijadikan contoh dan pegangan
bagi jalannya kepemimpinan.