ST dikarang oleh Ki Padmasusastra dan Nyai Padmasusastra pada tahun 1863-1904 M. Penggarapannya sampai dengan tahun 1904 dilakukan di nagari Batawi (sekarang Jakarta), kemudian penyelesaiannya dilakukan di Surakarta. ST yang dikaji dalam penelitian sudah merupakan naskah cetak yang diterbitkan oleh Kangjeng Gupremen di Batawi pada tahun 1907. Serat ini digubah dalam bentuk prosa sebanyak dua jilid. Jilid pertama terdiri dari 22 bab, 80 halaman. Jilid kedua terdiri dari 18 bab, 105 halaman. ST hasil cetakan Kangjeng Gupremen masih ditulis dengan aksara Jawa. Alih aksara kemudian dilakukan oleh Ny. Jumeri Siti Rumiyah, B. A., salah satu staf di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisi (Jarahnitra) Yogyakarta.
ST disajikan dalam bentuk dialog atau tanya jawab antaranggota keluarga. Keluarga yang menjadi pokok cerita dalam serat ini adalah keluarga seorang bangsawan yang bernama Tangkilan. Cerita berawal dari menantu Tangkilan yang sedang mengandung. Setelah itu, cerita bergulir melalui dialog-dialog antara Tangkilan, istri, putra, menantu, pembantu-pembantu, tetangga, dan tokoh-tokoh lain dalam cerita. Dialog yang dilakukan secara keseluruhan memberikan keterangan mengenai tahapan-tahapan upacara daur hidup yang dilakukan oleh keluarga bangsawan tersebut.
Beberapa versi lain ST
dalam khasanah kesusastraan Jawa berdasarkan berikut studi katalog adalah
sebagai berikut.
a.
Tatacara Surakarta (kode UR.4), Serat Tatacara (kode LL.62 dan UR. 32)
koleksi Fakultas Sastra Universitas Indonesia (Behrend dan Pudjiastuti,
1997: 1152).
b.
Serat Tatacara kode 24245 koleksi Pura Mangkunegaran Surakarta (Girardet
dan Soetanto, 1983: 363).
1.
Tatacara dan Upacara Prenatal
Tabel 1: Hasil Penelitian Tatacara dan Upacara Prenatal dalam ST
No.
|
Tata Cara/ Upacara
|
Sarana
|
1.
|
Tata cara mengenali tanda-tanda
kehamilan,
|
-
|
2.
|
Larangan-larangan selama masa kehamilan
|
-
|
3.
|
Anjuran-anjuran selama masa kehamilan
|
Air garam, jamu-jamuan
|
4.
|
Wilujengan satu bulan
|
Jenang
sungsum
|
5.
|
Wilujengan dua dan tiga bulan
|
Sekul
janganan, jenang, jajan pasar kembang boreh
|
6.
|
Wilujengan empat bulan
|
Sega
punar, ulam maesa setunggal, ketupat
|
7.
|
Wilujengan lima
bulan
|
Sekul
janganan, jenang, jajan pasar kembang boreh, uler-uler, enten-enten, rujak
crobo
|
8.
|
Wilujengan enam dan tujuh bulan
|
Apem
kocor, sekul janganan
|
9.
|
Wilujengan delapan bulan
|
Bulus
angrem, singgatan
|
10.
|
Wilujengan sembilan bulan
|
Jenang
ceprot, dhawet plencing
|
11.
|
Tingkeban
|
Kembang
setaman, wedhak, mangir, sindu atau cengkaruk, pon-empon, sriyatan, penyon,
sampora, pring sadhapur, tumpeng robyong, sajen, ingon,
|
12.
|
Tata Cara selama Proses Kelahiran
|
Banyu emas,
igaran
|
Tatacara yang dilakukan selama masa prenatal
‘hamil sampai dengan melahirkan’ tidak hanya melalui upacara-upacara tetapi
juga dalam bentuk-bentuk pantangan-pantangan bagi wanita yang sedang hamil.
Tatacara selama masa kehamilan dalam ST disajikan melalui dialog antara Nyai
Ajeng dan menantunya yang sedang hamil yaitu Raden Nganten. Deskripsi tatacara
selama masa kehamilan disajikan dalam pembahasan di bawah ini.
a.
Tanda-Tanda Kehamilan
Disebutkan dalam ST bahwa wanita
yang sedang hamil memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) payudara membesar dan
membulat, (2) nafas pendek-pendek, (3) wajah sumunu mancur ‘kehijau-hijauan’,
(4) merasa letih dan lesu, (5) mempunyai keinginan untuk menyantap jenis-jenis
makanan yang rasanya pedas masam seperti rujak serta mempunyai keinginan
berlebih terhadap jenis makanan tertentu. Tanda-tanda kehamilan tersebut dalam ST
disebut dengan istilah nyidham ‘ngidam’. Orang Jawa terkenal titen, hal-hal yang terjadi
berulang-ulang kemudian dicatat untuk diturunkan sebagai ilmu kepada generasi
berikutnya. Hal inilah yang kemudian menjadi kearifan lokal. Tanda-tanda
kehamilan yang dikemukakan dalam ST secara
umum dikenal dengan istilah morning
sickness. Tanda-tanda kehamilan secara ilmiah disebabkan karena faktor gula
darah yang rendah, tekanan darah rendah, perubahan hormonal, kekurangan gizi
terutama vitamin B6 dan zat besi, kelebihan konsumsi makanan olahan, pedas
maupun berminyak (Balaskas, 2005: 86).
b.
Larangan-Larangan Selama
Masa Kehamilan
Selama masa kehamilan, terdapat
beberapa larangan yang harus dipatuhi oleh wanita yang sedang hamil. Hal
tersebut misalnya terdapat dalam acuan data berikut.
Sirikane: aja sok linggih
tengah lawang, linggih lumpang utawa alu, mangan disangga, iku dadi pangane
Bethara Kala… ora kena mangan iwak kang angsare panas, kayata menjangan…,
mangan duren
lan maja iya ora kena…
‘Pantangannya: jangan sekali-sekali duduk di tengah pintu, duduk di
atas lumpang atau alu, makan dengan piring tersangga
tangan. (Jika dilaksanakan) akan menjadi mangsa Bethara Kala…tidak boleh makan
daging yang menyebabkan panas, seperti daging kijang…, makan durian dan buah maja juga tidak boleh’
Larangan-larangan di atas pada dasarnya
merupakan gugon tuhon. Gugon tuhon adalah perkataan atau dongeng yang
dipercaya mempunyai daya atau kekuatan. Jika perkataan atau dongeng itu tidak
dipatuhi, maka orang yang melanggarnya akan memperoleh kesialan dan kesengsaraan
dalam hidupnya (Sutrisno, 1982: 44).Gugon
Tuhon dibagi menjadi tiga, yaitu gugon
tuhon satuhu, wasita sinandhi, dan pepali
atau larangan. Gugon tuhon satuhu adalah
kepercayaan bahwa seorang anak yang disebut dengan bocah sukreta akan menjadi mangsa Bethara Kala. Bocah sukreta misalnya bocah
ontang-anting ‘anak tunggal’, bocah kedhana-kedhini ‘sepasang anak
laki-laki dan perempuan’, dan lain-lain. Selain memangsa bocah sukreta, Bethara Kala juga akan memangsa orang-orang yang
masuk golongan wong pangayam-ayam. Termasuk
golongan wong pangayam-ayam antara
lain orang yang memecahkan pipisan, merubuhkan dhandhang ‘alat masak’, dan lain-lain. Bocah sukreta maupun wong
pangayam-ayam akan terhindar dari Bethara Kala jika sudah melaksanakan
upacara ruwatan. Gugon tuhon yang
kedua adalah wasita sinandhi, yaitu
nasihat yang tersamar yang pada umumnya diawal dengan kata ora ilok ‘tidak pantas’. Gugon
Tuhon yang ketiga adalah pepali atau
wewaler, yaitu larangan-larangan
turun-temurun dari par leluhur.
Termuat
dalam ST bahwa wanita hamil yang melanggar larangan yang tersebut di
atas akan dimakan Bethara Kala, tentu saja hal ini tidak masuk akal. Menilik
dari ciri dan fungsinya, larangan ini termasuk jenis gugon tuhon wasita
sinandhi atau nasihat yang tersamar. Sebagai contoh kasus, larangan duduk
di tengah pintu sebenarnya merupakan nasihat terselubung karena jika ada yang
duduk di depan pintu, akan menghalagi orang yang lalu-lalang. Demikian juga
makan dengan menyangga piring. Sebenarnya larangan tersebut bertujuan baik,
karena makan dengan cara disangga
sangat riskan sebab jika tidak waspada, piring yang sedang disangga dapat tumpah sewaktu-waktu. Menurut ST, wanita yang
sedang hamil juga tidak diperbolehkan makan ikan sungsang. Karena jika makan
ikan sungsang, dimungkinkan bayi yang dilahirkan juga akan sungsang.
Larangan memakan daging dan buah-buahan
tertentu sebenarnya lebih bersifat medis. Daging kijang, buah durian, dan maja
tidak boleh dimakan oleh wanita hamil karena makanan-makanan tersebut dapat
meningkatkan suhu tubuh, membuat perut terasa panas, sehingga dikhawatirkan
akan menimbulkan keguguran. Disebutkan pula dalam ST, adanya larangan memakai
bunga-bungaan, hiasan sisir, memakai cincin dan gelang kecil karena mempunyai
watak kandheg ‘terhenti’. Bersumping
bunga-bungaan, maka tangkai bunga tersebut akan terhenti di telinga, hiasan
sisir terhenti rambut, cincin terhenti di pangkal jari, dan gelang kecil
terhenti di pergelangan tangan. Larangan-larangan tersebut sebenarnya bersifat
sugesti, dan merupakan harapan terselubung agar proses kehamilan dan kelahiran
dapat lancar, tidak kandheg.
c.
Anjuran-Anjuran Selama
Masa Kehamilan
Selama masa kehamilan dianjurkan
melakukan hal-hal sebagai berikut: (1) setiap hari Rabu dan Sabtu mandi dan mencuci
rambut, memotong kuku, dan menghitamkan gigi, (2) sebelum tidur mencuci tangan
dan kaki dengan air garam, dan (3) minum jamu-jamuan. Anjuran pertama selama
masa kehamilan mempunyai makna kepasrahan. Kehamilan merupakan masa-masa riskan
dan beresiko. Wanita yang sedang hamil dapat meninggal sewaktu-waktu. Mandi
keramas dan memotong kuku merupakan salah satu cara untuk menjaga kebersihan.
Jadi jika sudah membersihkan diri, setiap saat dipanggil Tuhan, sudah dalam
keadaan bersih.
Anjuran kedua dimaksudkan untuk menjaga
keselamatan ibu hamil. Karena mencuci tangan dan kaki dengan air garam dapat
mencegah gigitan ular maupun binatang-binatang yang lain. Selain anjuran di
atas, disebutkan pula dalam ST bahwa wanita hamil harus minum
jamu-jamuan untuk menjaga kesehatan.
d.
Wilujengan Selama Masa Kehamilan
Wilujengan ‘selamatan’ selama masa kehamilan dilakukan dari bulan pertama
sampai dengan bulan kesembilan. Wilujengan
‘selamatan’ selama masa kehamilan dilakukan dari bulan pertama sampai dengan
bulan kesembilan. Wilujengan setiap
bulannya diuraikan dalam keterangan berikut.
1) Wilujengan
Satu Bulan
Wilujengan satu bulan kehamilan dinamakan ngebor-ebori. Sarana yang
disiapkan adalah jenang sungsum ‘bubur dari tepung beras yang dicampur
dengan garam, dimakan dengan juruh santan’. Jenang sungsum mempunyai
makna simbolik sebagai lambang kekuatan dengan harapan calon ibu diberi
kekuatan untuk melalui masa kehamilan dan dapat melahirkan dengan lancar.
2) Wilujengan
Dua dan Tiga Bulan
Wilujengan 2 dan 3 bulan kehamilan menggunakan sarana yang sama, yaitu:
-
Sekul Janganan, berupa tumpeng yang
dikelilingi dengan berbagai macam sayuran. Tetapi jenis sayuran sekeliling tumpeng berjumlah ganjil. Sekitar 5
sampai dengan 9 jenis. Sayur-sayuran ini kemudian dicampur dengan parutan
kelapa yang dibumbui. Selain sayur-sayuran, untuk melengkapi tumpeng juga ditambahkan kedelai, gudhe
‘kacang kara’, ampas sayur kluwih
yang sudah dicampur bumbu lada, sambal puyang, sambal laos, sambal kedelai,
sambal wijen, sambal gepeng ‘kacang
putih’, sambal kluwak, ampas wijen, dan ikan asin yang dibakar. Ditambah dengan
satu butir telur yang dibelah menjadi lima.
Semua sarana tadi dicampur di sekeliling tumpeng.
-
Jenang ‘bubur halus’. Berbagai macam jenang yang dipakai untuk wilujengan
adalah jenang abrit (warnanya merah dan putih), jenang baro-baro yang dimasak dari
tepung beras dan dibagi menjadi dua. Bagian pertama tepung beras dimasak dengan
santan. Bagian kedua dimasak dengan gula jawa. Dipakai pula jenang katul, yang
dibuat dari kulit padi halus yang kemudian dicampur dengan gula jawa disisir
halus ditambah dengan parutan kelapa. Sedangkan jenang baro-baro dimaksudkan
untuk milujengi saudara-saudara (kakang kawah adhi ari-ari) atau
bagian-bagian dari rahim yang lahir bersama bayi.
-
Jajan Pasar Kembang Boreh yang terdiri dari opak angin ‘nama jenis makanan, yang jika
dibakar akan bertambah besar’, pisang pulut, pala kependhem (terdiri
dari gembili dan kimpul), ampas kelapa yang diberi bermacam-macam warna, yaitu
merah, hitam, kuning, biru, dan putih, carabikang ‘srabi ukuran kecil’ satu
buah, kupat luwar 1 buah ‘beras kuning yang dibungkus dengan
janur seperti ketupat biasa, jika ditarik dapat lepas dengan mudah’
(Poerwadarminta, 1939: 238a). Selain itu juga ditambahkan dengan empon-empon
yang terdiri dari sunthi, kencur, kunir, lempuyang, jahe, bengle).
Ditambahkan pula kapas, ampo ‘tanah
liat bakar’, injet, dan nasi sayur
yang dibungkus dengan daun.
3)
Wilujengan Empat Bulan
Wilujengan empat bulan tidak memakai sarana yang terlalu banyak seperti pada
kehamilan 2 dan 3 bulan. Sarana yang dipakai adalah sega punar ‘yaitu sekul
wuduk ‘nasi uduk yang dicampur dengan kunyit dan sedikit asam’. Ditambah
dengan lauk ulam maesa setunggal ‘daging kerbau yang lengkap dengan jerowan dan satu biji mata’, ditambah
sambal goreng, dan ketupat empat buah.
4)
Wilujengan Lima Bulan
Wilujengan lima bulan menggunakan sarana seperti pada wilujengan 2 dan 3 bulan, tetapi ditambah dengan uler-uler ‘tepung
beras dicampur air, pewarna, beras ketan yang juga diberi warna-warni, enten-enten
‘parutan kelapa dicampur gula jawa’, kemudian dibentuk bulat-bulat. Enten-enten
dimakan bersama dengan beras ketan. Selain sarana di atas, para tetangga
dekat dan keluarga juga diberi hantaran yang dimasukkan dalam ponthang ‘semacam
wadah yang terbuat dari janur kuning’. Agar antarikatan ponthang tidak
lepas, diberi biting dari jarum lima
warna (kuning emas, suwasa ‘kuningan’, salaka, tembaga, dan besi. Lambaran yang
dipakai yaitu lemper siti ‘cobek yang terbuat dari tanah’. Isi ponthang
yaitu sekul punar, gorengan daging, dan makanan-makanan lain yang
sudah disebutkan di atas. Ditambah dengan rujak crobo ‘rujak yang
dibumbui dengan sunthi kencur’.
5)
Wilujengan Enam dan Tujuh Bulan
Wilujengan 6 dan 7 bulan dilakukan dalam satu waktu. Sarana yang dipakai yaitu
apem kocor ‘apem yang terbuat dari tepung beras dicampur dengan sedikit
ragi, kemudian ditumbuk, dicampur dengan air, selanjutnya dijemur’. Sesudah
jadi, kemudian dicetak, tanpa diberi bumbu. Karena diberi ragi, rasanya sedikit
masam. Kemudian apem dimakan dengan juruh santan. Selain apem kocor, ditambah
pula dengan sekul janganan.
6)
Wilujengan Delapan Bulan
Sarana wilujengan delapan bulan yaitu bulus angrem ‘klepon yang ditutupi dengan srabi warna
putih yang dihadapkan ke bawah’. Klepon
melambangkan telur penyu, sedangkan srabi
melambangkan kulit penyu.
7)
Wilujengan Sembilan Bulan
Wilujengan sembilan bulan menggunakan jenang ceprot dengan harapan calon ibu
mendapatkan kemudahan ketika melahirkan. Jenang ini dibuat dari tepung beras
yang dicampur air dari santan kelapa dan gula Jawa, kemudian diaduk sampai
kental. Setelah masak, kemudian dicampuri dengan pisang utuh yang sudah
dikupas. Jenang ceprot kemudian
dimasukkan dalam takir ‘semacam wadah
yang terbuat dari daun pisang’. Jika sudah memasuki akhir bulan ke-9, tetapi
belum ada tanda-tanda akan melahirkan, diadakan wilujengan dengan sarana dhawet
plencing. Dhawet ini dijual kepada anak-anak. Tetapi uang yang dibayarkan
bukan uang sebenarnya, tetapi memakai wingka.
Wilujengan selama masa kehamilan pada dasarnya sama. Wilujengan yang penyelenggaraannya istimewa adalah wilujengan pada bulan ketujuh, yang disebut dengan upacara Tingkeban. Untuk mengadakan upacara ini biasanya dipilih hari Rabu
atau Sabtu, sebelum bulan purnama. Tanggal yang dipilih harus ganjil. Boleh
tanggal 3, 5, 7, 9, 11, 13, atau 15 asalkan belum bulan purnama. Salah satu
prosesi upacara adalah memandikan calon ibu. Biasanya mengambil waktu pada
pukul 11.00 WIB siang. Prosesi upacara dimulai oleh calon nenek dari pihak suami
yang menjatuhkan teropong. Jalannya teropong yang dengan cepat jatuh ke bawah,
merupakan lambang permohonan agar proses kelahiran bayi juga dapat berlangsung
dengan lancar dan cepat, seperti jalannya teropong.
Sesudah
itu dijatuhkan pula melalui letrek, cengkir gadhing yang sudah digambari
atau dilukisi tokoh Kamajaya dan Kamaratih, Panji dan Candra Kirana, atau Janaka dan Sembadra. Prosesi
menjatuhkan cengkir gadhing ini agar
kelak bayi yang lahir, jika laki-laki tampan seperti Kamajaya, Janaka, atau
Panji, jika perempuan cantik seperti Kamaratih, Sembadra, atau Candra Kirana.
Sesudah
dua prosesi ini berlangsung, calon ayah digandeng bapak dan mertua berangkat
dari pendhapa menuju tempat
dilangsungkannya prosesi. Sesudah itu, ibu si istri memecah atau membanting
telur mentah, dan membelah cengkir gadhing
yang tadi dijatuhkan. Prosesi ini melambangkan agar bayi yang dilahirkan sehat,
tidak kurang suatu apa. Sesudah prosesi ini calon ibu menuju ke rumah. Jalan
yang akan dilewati, diberi alas dengan kain mori.
Mori melambangkan niat suci dan
kepasrahan calon ibu kepada Tuhan YME. Sesudah itu, calon ibu berganti-ganti
kain sebanyak tujuh kali.
Perlambang
dalam prosesi ini terdapat dalam acuan data berikut:
…punika inggih ugi kalebet pasemon gampil anggenipun manak, kados
saangenipun tapihan, plotra-plotro …
‘…itu merupakan perlambang, mudahnya
proses kelahiran, seperti mudahnya kain-kain ini terlepas, plotra-plotro’
Kain-kain
tersebut kemudian ditumpuk dan diduduki oleh calon ibu. Prosesi ini sebagai
lambang agar proses kelahiran berlangsung dengan mudah, semudah terlepasnya
tujuh buah kain tadi. Malamnya, diadakan pagelaran wayang dengan lakon Lairipun Gathotkaca “Lahirnya
Gatotkaca’. Pringgawidagda (2003: 6-8), menyebutkan bahwa dalam proses Tingkeban, motif kain yang lazim dipakai
yaitu Sidamukti, Truntum, Sidaluhur,
Parangkusuma, Semenrama, Udan Riris, Cakar Ayam, Grompol, Lasem, dan Dringin. Secara umum, motif-motif kain
ini mengandung harapan-harapan terhadap sifat dan nasib anak yang akan
dilahirkan, seperti tampak dalam tabel berikut.
No.
|
Motif Kain
|
Makna atau Harapan
|
1.
|
Sidamukti
|
Menjadi orang
yang sejahtera dan disegani banyak orang
|
2.
|
Truntum
|
Agar anak
mewarisi kebaikan akal budi kedua orang tuanya
|
3.
|
Sidaluhur
|
Anak yang akan
lain menjadi pribadi yang santun dan berbudi pekerti luhur
|
4.
|
Parangkusuma
|
Harapan agar
anak yang dilahirkan mempunyai akan setajam parang (cerdas)
|
5.
|
Semenrama
|
Agar anak yang
akan dilahirkan mempunyai sifat halus, penuh cinta kasih
|
6.
|
Udan riris
|
Harapan agar
anak menjadi pribadi yang mampu menyejukkan dan memberi kesegaran
|
7.
|
Cakar Ayam
|
Anak pandai
mencari rezeki seperti halnya ayam
|
8.
|
Grompol
|
Agar anak mampu
menyatukan seluruh keluarga, sehingga tidak tercerai-berai atau nggrompol
|
9.
|
Lasem
|
Kain bermotif
garis vertikal, dipakai dengan harapan agar anak senantiasa bertaqkwa kepada
Tuhan YME.
|
10.
|
Dringin
|
Kain bermotif
garis horisontal, dipakai dengan harapan anak mempunyai hubungan yang selaras
dengan lingkungan sosialnya.
|
e.
Tata Cara selama Proses
Kelahiran
Disebutkan dalam ST, perempuan yang akan melahirkan diharuskan menghadap ke arah
barat, sesuai dengan jalannya air. Ketika proses kelahiran akan dimulai, suami
memangku si istri sambil meniup ubun-ubunnya. Pada saat memangku, rambut suami
tidak boleh terikat (harus terurai), tidak boleh menggunakan hiasan sisir,
memakai sabuk, kain tidak boleh ditalikan. Saat proses kelahiran, semua pintu
rumah harus dalam keadaan tidak terkunci. Tali-tali ponjen ‘kantong tempat jejamuan’ juga harus terbuka, dan
keris-keris harus dilepaskan dari wrangkanya.
Tatacara ini pada dasarnya merupakan usaha untuk menghilangkan sifat kandheg ‘terhenti’. Larangan-larangan
tersebut sebagai simbol agar proses kelahiran berjalan lancar tidak ada yang ngendheg-ndhegi ‘menghalang-halangi’.
2.
Tatacara dan Upacara Pascanatal
Tabel 2: Hasil Penelitian Tatacara dan Upacara Pascanatal dalam ST
No.
|
Tata Cara/ Upacara
|
Sarana
|
1.
|
Cara memotong tali pusar
|
Welat, kendhil,
kopohan
|
2.
|
Cara merawat potongan tali pusar
|
Daun senthe,
bathok bulu, kendhil, kemiri gepak jendhul, kembang boreh, gereh pethek, dom,
beras abang, lenga wangi, lemper, tulisan berhuruf Arab dan Jawa, kain mori,
tindhih.
|
3.
|
Cara merawat ibu dan bayi sesudah proses
kelahiran
|
Madu dari bunga-bungaan, daging buah kelapa, sirih
|
4.
|
Brokohan
|
Sega asah, iwak
kebo siji, pecel pitik, jangan menir
|
5.
|
Puput
Puser
|
Merica, bawang merah bakar, pisang ambon, gula kelapa, nasi,
sayur-sayuran, bubur merah, jenang baro-baro, jajan pasar, benang lawe,
daun-daunan, injet, jelaga, mainan anak-anak, gandhik
|
6.
|
Sepasaran
|
Tumpeng, jenang
merah putih, baro-baro, jajan pasar
|
7.
|
Selapanan
|
Tumpeng,
inthuk-inthuk
|
8.
|
Slametan 40 hari sesudah melahirkan
|
Tumpeng, sayur mayur, banyu asem
|
9.
|
Tedhak
siten
|
Nasi dan sayur mayur, juadah tujuh warna, tebu, suji, air sekar
setaman, beras kuning, anggris, talen salaka, padi, kapas, raja
brana, kurungan ayam,
|
10.
|
Slametan satu tahun
|
Tumpeng dan sayur mayur, jenang gaul
|
11.
|
Slametan nyapih
|
Ramuan kunyit, ketumbar, jamu-jamuan, larik, pupuk, wedhak,
dhukut sewu, wedang legon dhadhap
|
a.
Cara Memotong Tali Pusar
Sesudah
bayi lahir, dilakukan pemotongan tali pusar. Tali pusar dipotong dengan
menggunakan welat ‘bambu tipis dan
tajam’. Welat dapat digunakan lebih dari satu kali, untuk adik-adik si bayi
yang akan lahir kemudian. Oleh karena itu, ada istilah sedulur nunggal welat. Kain
yang dipakai untuk melahirkan kemudian dicuci bersih dan dipakai sebagai kopohan. Artinya kain tersebut tidak
akan dipakai lagi, hanya disimpan. Jika suatu saat bayi sakit, lazimya kain
tersebut akan dipakaikan sebagai selimut.
b.
Cara Merawat Potongan
Tali Pusar
Potongan
tali pusar yang sudah dicampur dengan kunyit, dimasukkan dalam kendhil yang sudah dialasi daun senthe bersama dengan kemiri gepak jendhul sebagai lambang suami
istri, kembang boreh, gereh pethek, dom, beras abang, minyak wangi, garam,
sirih, uang senilai satu gobang.
Dimasukkan pula tulisan dalam huruf Arab dan huruf Jawa, dengan harapan agar
kelak anak yang dilahirkan pintar mengaji dan membaca.
c.
Perawatan Ibu dan Bayi
Sesudah Proses Kelahiran
Sesudah
bayi lahir dan dibersihkan, jika bayinya laki-laki dikumandangkan azan oleh
kakek si bayi. Jika bayi perempuan dikumandangkan qomat. Setelah diazani atau
diqomati, tempat tidur bayi digebrak sebanyak tiga kali, agar kelak bayi tidak
menjadi orang yang mudah kaget. Sebelum bayi bisa menyusu kepada ibunya,
menurut ST terlebih dahulu diberi
minum madu dari bunga-bungaan dan daging kelapa yang masih sangat lunak. Selain
itu, terdapat pula larangan bahwa ibu yang baru saja melahirkan, tidak diperbolehkan
tidur terus-menerus karena dikhawatirkan dapat meninggal tanpa sadar.
d.
Upacara Brokohan
Sesudah
bayi lahir, diadakan slametan brokohan. Ketika bayi berumur 2, 3, 4
hari tidak ada slametan atau wilujengan khusus.
e.
Upacara Puput Puser
Upacara
yang istimewa selama pascanatal
adalah upacara Puput Puser. Salah satu sarana yang penting dalam upacara
ini adalah mainan anak-anak yang diperuntukkan bagi kerabat bayi (kakang kawah adhi ari-ari, sedulur papat lima pancer). Maksudnya
kakang kawah karena kawah atau air
ketuban pecah mendahului bayi, sehingga kawah dianggap sebagai saudara tua
bayi, sedangkan ari-ari keluar sesudah bayi lahir, sehingga disebut adhi ari-ari. Sedulur papat lima
pancer dimaksudkan bahwa saat bayi lahir di dunia, tidak hanya sendirian
tetapi dengan empat saudara, yaitu kawah,
ari-ari, darah, dan pusar, lima pancer maksudnya bayi itu sendiri
sebagai pancer atau pusatnya. Konsep sedulur papat lima pancer ini dipakai sebagai salah
satu konsep dasar kehidupan oleh masyarakat Jawa. Konsep ini sudah mendarah
daging dalam jiwa setiap masyarakat Jawa. Hal ini terbukti dalam termuatnya konsep
ini dalam primbon-primbon yang sampai sekarang ini masih kerap menjadi pedoman
masyarakat Jawa dalam pengambilan keputusan seperti pindah rumah, menikahkan
anaknya, memilih jodoh, dan lain-lain.
Salah
satu primbon yang memuat mengenai konsep kakang
kawah adhi ari-ari adalah Primbon
Jawi. Disebutkan dalam Sura (2005: 27) bahwa saudara-saudara bayi tidak
hanya 4, melainkan 8, yaitu (1) Celeng Demalung
dari kawah, (2) Asu Ajag dari
ari-ari, (3) Kalasrenggi dari darah,
(4) Kutilapas dari bungkus, (5) Kalarandhing dari lendir, (6) Kalawekas dari kunir yang dijadikan sebagai alas, (7) Taliwangke dari usus ari-ari, dan (8) Tikus Jinanda dari bagian ari-ari yang terlepas.
f.
Upacara Sepasaran
Bayi
yang berumur sepasar atau lima hari juga dislameti, tetapi secara sederhana.
g.
Slametan Selapanan
Saat
bayi berumur 35 hari, diadakan upacara selapanan.
Pada upacara ini, untuk pertama kali bayi dipotong rambutnya. Biasanya yang
memotong adalah nenek si bayi. Hasil potongan rambut ini kemudian dijadikan
satu dengan tai kalong dan pusar yang telah terlepas. Pusar yang telah
terlepas ini jika dimakan oleh si bayi saat sudah besar, dipercaya dapat
berfungsi sebagai jimat yang keampuhannya setara dengan ilmu kebal senjata.
h.
Slametan Empat Puluh Hari sesudah Melahirkan
Empat
puluh hari sesudah melahirkan, biasanya juga diadakan slametan. Jika
memiliki biaya, maka slametan 40 hari sesudah melahirkan ini,
diselenggarakan dengan meriah seperti pada saat tingkeban. Sarana slametan
40 hari adalah tumpeng dan
sayur-mayur. Pada upacara ini diundang pula ibu-ibu untuk menyaksikan prosesi
upacara. Prosesi upacara dilakukan dengan memandikan ibu yang baru saja
melahirkan.
i.
Tedhak siten
Tedhak siten menurut ST dilakukan saat bayi
berumur 6 lapan atau pitung weton. Sarana pada slametan ini
adalah beras kuning yang dicampur dengan uang anggris ‘ringgit’, wukon
‘uang setengan rupiyah, talen salaka ‘uang 25 sen yang terbuat dari
logam berwarna putih’, padi satu gengam, dan kapas satu dhompol. Jika kapas
diambil oleh bayi pada saat upacara, dikatakan bahwa bayi dapat menjadi
penguasa yang mampu membawahi beberapa wilayah. Jika yang diambil adalah uang
ringgit (anggris), maka akan menjadi orang kaya. Sarana yang lain tidak
diterangkan secara rinci dalam ST.
j.
Slametan Satu Tahun dan Slametan Nyapih
Bayi
yang berumur satu tahun, menurut ST harus dibuatkan selamatan. Hitungan
satu tahun, tidak mengacu pada netu, tetapi hanya berdasarkan hitungan
tanggal dan tahun. Menurut ST, waktu yang paling baik untuk menyapih bayi, jika bayi laki-laki
ketika berumur 15-16 bulan, jika perempuan 18-19 bulan. Jika melebihi umur
tersebut baru disapih, menurut
kepercayaan saat dewasa, anak tersebut akan menjadi orang yang bodoh.
3.
Tatacara dan Upacara pada Masa Anak-anak dan Remaja
Tabel 4: Hasil Penelitian Tatacara dan Upacara pada Masa Anak-anak
dan Remaja
No.
|
Tata Cara/ Upacara
|
Sarana
|
1.
|
Tetesan
|
Plemek, daun-daunan, kain, sesajian (suruh ayu dan gedhang ayu,
gambir wutuhan, jambe tangan), uang suwang seperempat, kunyit
|
2.
|
Pasah
|
Kain dodot ngrene, suruh ayu, gedhang ayu, kayu dhadhap srep,
wingkal, beras kencur,
|
3.
|
Sukeran
|
Landha merang, air asam kawak, jeruk purut, pandan wangi, kembang
setaman, dupa
|
4.
|
Sunatan
|
Krobongan, lulur garutan, sujen, jampi kacekan
|
5.
|
Tingalan
|
Tumpeng, wedhus tujah, iwak kebo setunggal
|
6.
|
Mencari jodoh
|
Congkok
|
a.
Upacara Tetesan
Upacara
tetesan merupakan acara yang dilaksanakan pada saat anak perempuan
beranjak remaja. Untuk rakyat jelata, upacara tetesan dilaksanakan pada
saat si anak berumur 8 tahun, sedangkan untuk putri-putri dari keluarga
bangsawan, upacara ini dilaksanakan saat anak berusia 10 tahun. Karena terdapat
pandangan para keluarga bangsawan, bahwa menyelenggarakan upacara tetesan terlalu
dini adalah hal yang memalukan.
b.
Upacara Pasah
Upacara pasah ‘meratakan gigi
taring’ dilaksanakan pada saat remaja. Untuk anak laki-laki dilakukan pada usia
18 tahun, untuk anak perempuan 12 tahun. Untuk anak perempuan, upacara pasah harus dilaksanakan sebelum si anak mendapat
menstruasi yang pertama.
c.
Upacara Sukeran
Upacara sukeran adalah
upacara yang diselenggarakan saat anak perempuan pertama kali mendapat
menstruasi. Upacara sukeran dilaksanakan
pada saat menstruasi selesai. Selama tujuh hari dari menstruasi yang pertama,
si anak tidak boleh menyisir rambut dan mandi, hanya boleh dilulur saja.
d.
Upacara Sunatan
Upacara sunatan menurut ST dilakukan saat anak laki-laki berusia 16 tahun. Sunat
merupakan kewajiban bagi para pemeluk agama Islam. Namun ada perbedaan dalam
segi umur anak yang akan disunat. Menurut hukum Islam, sunat bagi
anak lelaki dilakukan saat bayi berumur 40 hari (Soebadyo, 2002: 115).
Masyarakat Jawa menerima hal tersebut tetapi sekaligus melakukan adaptasi. Umur
40 oleh masyarakat Jawa dianggap terlalu dini, sehingga anak-anak dari
masyarakat Jawa biasanya disunat pada umur 8-16 tahun.
Upacara Sunatan menurut ST dilaksanakan
dengan berbagai persiapan. Salah satunya adalah persiapan tempat. Tempat yang
digunakan untuk upacara sunatan biasanya dibangun di sebelah timur
pendapa berupa krobongan dari bambu wulung
yang dipasang pada 4 sisi. Prosesi upacara sunatan dimulai tiga hari
sebelum hari H. Prosesi pertama adalah sengkeran atau pingitan. Selama
dipingit, anak ditunggui secara bergantian oleh para sesepuh. Satu hari sebelum
hari H, diadakan lek-lekan ‘tidak tidur
semalam suntuk’ yang dimaksudkan untuk midodareni sunatan,
Saat hari H, pukul 4 pagi si anak sudah mandi
berendam di kamar mandi. Prosesi ini bertujuan agar daging yang akan disunat
menjadi mengkeret, sehingga saat disunat darah yang keluar tidak terlalu
banyak. Sesudah berendam dan mandi, si anak kemudian dirias. Si anak juga
memakai kain sembagi merah untuk menampung darah yang keluar, agar tidak
mengenai kain. Anak tidak diperkenankan memakai baju, badannya dilulur
dengan boreh garutan ‘lulur yang
terbuat dari garut’,
Pada pukul 06.00 pagi anak yang akan disunat
kemudian diantar menghadap para tamu untuk meminta doa restu dengan cara pangabekti ‘menyembah dan meminta doa restu’ secara khusus
kepada para tamu agung, anak kemudian diarak menuju krobongan tempat sunat
diikuti para tamu. Tamu-tamu kemudian berdiri di depan krobongan untuk menyaksikan prosesi upacara. Sesudah selesai
prosesi keseluruhan, para tamu disuguhi dengan hiburan tayuban sampai dengan sore hari. Malam harinya para tamu datang
kembali ke rumah orang tua anak yang ditetak untuk menyaksikan pagelaran
wayang kulit semalam suntuk.
e.
Upacara Tingalan
Tingalan
adalah upacara
yang diadakan untuk memperingati kelahiran seseorang. Tingalan menurut ST
diperingati pada saat seseorang berulang tahun, dan penyelenggaraannya
dilakukan pada saat weton orang yang bersangkutan. Sarana upacara tingalan
adalah tumpeng dengan jumlah yang
disesuaikan dengan umur orang yang berulang tahun. Dua buah tumpeng dibuat besar, melambangkan
laki-laki dan perempuan, kemudian sisanya dibuat dengan ukuran lebih kecil. Selain
itu juga harus disediakan wedhus tujah yaitu kambing yang dua buah kaki
depannya berwarna putih. Kambing ini digunakan untuk menangkal pangapesing
wuku ‘kesialan wuku’. Tidak ada prosesi khusus dalam upacara tingalan. Para tamu hanya datang untuk mengucapkan selamat.
Tamu-tamu yang datang merupakan mitra orang yang berulang tahun.
Keluarga
Tangkilan yang menjadi inti cerita dalam ST
adalah keluarga bangsawan yang masih melestarikan tata upacara masyarakat
Jawa. Namun konteks budaya dalam salah satu upacara yaitu Upacara Tingalan menunjukkan adanya pengaruh budaya Belanda. Hal
ini terlihat pada prosesi upacara
tingalan. Disebutkan dalam ST bahwa dalam acara ini yang hadir
dikhususkan untuk tamu laki-laki. Acara diselenggarakan mulai pukul 20.00 WIB. Para tamu langsung dipersilahkan menikmati hidangan makan
malam. Tengah-tengah acara diisi dengan toast cara Belanda. Cara ini
diawali dengan pemukulan gelas oleh tuan rumah. Satu kali memukul gelas
merupakan isyarat bagi para pelayan untuk mengisi gelas para tamu dengan
minuman. Dilanjutkan dengan dua kali memukul gelas yang merupakan tanda bahwa
seluruh gelas para tamu sudah terisi. Kemudian gelas kembali dipukul sebanyak 3
kali. Mendengar gelas dipukul 3 kali, para tamu serentak berdiri. Saat para
tamu berdiri inilah, tuan rumah memaparkan doa-doa dan harapan-harapan
hidupnya. Sebelum mengucapkan harapan-harapannya tuan rumah memukul gelas
terlebih dahulu sebanyak 3x, kemudian 2x, dan 1x, baru berbicara. Sesudah
prosesi toast dan makan malam, para tamu kemudian dipersilahkan untuk
berpindah ke pendapa. Para tamu laki-laki
menghabiskan malam di pendapa dengan bermain kartu, menikmati tari Gambyong, dan Tayuban.
Uraian di atas merupakan bukti bahwa persentuhan
budaya antara bangsawan dan bangsa Belanda memang terjadi. Upacara di atas
mengadaptasi tata cara ulang tahun bangsa Belanda, namun hiburan tetap khas
Jawa yaitu Gambyong dan Tayuban. Selain susunan acara yang
diadaptasi dari bangsa Belanda, hidangan-hidangan pun dalam upacara tingalan
juga mengadaptasi hidangan ala barat. Hal ini secara jelas termuat dalam buku Adat-Istiadat
Jawa (Hardjowirogo, 1979: 101-104) bahwa hidangan yang tersedia dalam Upacara
Tingalan biasanya merupakan campuran dari hidangan ala barat dan Jawa.
Beberapa hidangan khas barat antara lain kaas-stangel, birthday cake, sosis,
permen keras, buah kaleng, dan lain-lain. Namun hidangan khas Jawa juga
tersaji dalam acara ini, seperti lapis legit, nasi opor, sambel goreng, timlo,
nasi tumpeng, selada usar, dan lain-lain.
f.
Langkah-langkah Orang Tua
Mencarikan Jodoh bagi Anaknya
ST tidak membahas
secara khusus mengenai upacara pernikahan. ST hanya
memuat cara-cara orang tua pada masa lalu untuk mencarikan jodoh bagi anaknya.
Langkah-langkah mencarikan jodoh ini termuat dalam ST halaman
75-80. Langkah-langkah tersebut sebagai berikut:
1)
Orang tua yang akan mencarikan jodoh bagi
anaknya akan memakai jasa seorang congkok ‘mak
comblang’. Congkok harus pandai
berbicara, mampu mempromosikan kebaikan-kebaikan orang yang akan dijodohkan,
budi baik orang tua calon, maupun kekayaan harta benda orang yang akan
dijodohkan,
2)
Congkok kemudian menjadi mediator penentu hari dan waktu
untuk nontoni ‘saling melihat
calon’.
3)
Bapak-ibu, anak laki-laki yang akan
dijodohkan, beserta kerabatnya kemudian pergi ke rumah orang tua anak perempuan
pada hari dan waktu yang telah ditentukan.
4)
Sesudah beberapa waktu, bapak dari anak
perempuan (tuan rumah) mempersilahkan bapak dari anak laki-laki untuk masuk
rumah. Pada saat inilah anak perempuan yang ditontoni akan menyuguhkan pawohan ‘buah-buahan’ dan pakinangan ‘peralatan
dan sarana untuk mengunyah sirih’ di depan para tamu.
5)
Pada saat menyuguhkan buah-buahan dan pakinangan inilah, semua tamu termasuk anak laki-laki yang
akan dijodohkan dapat melihat wajah calon istrinya. Jika pihak keluarga dan
calon pengantin pria (cpp) setuju dan merasa cocok, ayah cpp kemudian
mengirimkan surat
lamaran. Jika keluarga dan cpp tidak berkenan dengan cpw, maka ayah cpp tidak
perlu mengirimkan surat
penolakan. Cukup dengan diam tanpa melakukan apa-apa. Jika tidak menerima kabar
apapun cpw sudah jelas jika keluarga cpp tidak berkenan dengan calon pengantin wanita
(cpw).
6)
Surat dari
ayah cpp diterima oleh cpw. Jika orang tua cpw juga setuju dengan cpp, maka surat lamaran tersebut
akan dibalas dengan persetujuan, ditambahkan dengan hal-hal yang terkait dengan
proses kelanjutan lamaran. Akan tetapi, jika ayah cpw tidak berkenan dengan
cpp, maka surat
lamaran tersebut dijawab dengan penolakan secara halus, dengan cara mengatakan
bahwa cpw belum siap untuk menikah, belum mau berumah tangga, atau tidak baik
menurut perhitungan waktu dan perjodohan.
7)
Jika cpp merupakan anak dari keluarga
bangsawan yang lebih rendah derajatnya, dan bermaksud menikahi cpw dari
keluarga bangsawan yang lebih tinggi derajatnya, maka keluarga perempuanlah
yang berhak nontoni cpp.
B. Simpulan dan Saran
1. Simpulan
Melalui penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa ST memuat deskripsi tata cara dan daur
hidup masyarakat Jawa yang terbagi dalam tiga fase, yaitu prenatal, pascanatal, serta masa anak-anak dan remaja. ST juga memuat simbol-simbol dari sarana
dan prasarana upacara seputar daur hidup masyarakat Jawa. Mayoritas
simbol-simbol yang digunakan merupakan lambang dari doa keselamatan dan
permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Saran
Penelitian ini hanya menggunakan sumber
penelitian dari satu versi ST saja.
Oleh karena itu, diharapkan ada penelitian lain mengenai tata cara dan daur
hidup masyarakat Jawa dengan
menggunakan naskah-naskah sejenis yang ada di museum-museum dan
perpustakaan-perpustakaan lain. Seperti naskah-naskah yang dikoleksi oleh
Museum Sanabudaya, Tepas Kapujanggan Widya Budaya, dan Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia.
Daftar Pustaka
Balaskas,
Janet. 2005. New Natural Pregnancy. Jakarta: Gramedia.
Baried, Siti Baroroh. 1994.
Pengantar Teori Filologi. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Jakarta.
Behrend
dan Pudjiastuti, T.E. dan Titik. 1997. Katalog
Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 3-B: Fakultas Sastra UI. Jakarta: Yayasan Obor.
Girardet dan Soetanto. 1983. Descriptive Catalogue
of the Javanese Manuscripts and Printed Books in the main Libraries of Surakarta and Yogyakarta.
Wisbaden: Franz Steiner Verlag GMBH.
Hardjowirogo. 1980. Adat
Istiadat Jawa (Sedari Seseorang Masih dalam Kandungan hingga Sesudah Ia
Tiada Lagi. Bandung:
Patma.
Herusatoto. 1987. Simbolisme
dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT.
Hanindita Graha Widya.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
. 1985. Ritus
Peralihan di Indonesia. Jakarta:
Penerbitan Nasional Balai Pustaka.
. 1987. Kebudayaan Mentalitas dan
Pembangunan. Jakarta:
Gramedia.
. 1987. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: UI Press.
Magnis Suseno. 2001. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia.
Padmasusastra. 1907. Serat Tata Cara. Batawi: Kangjeng
Gupremen.
Poerwadarminta, W. J. S.
1939. Baoesastra Djawa. Groningen
Batavia: J. B. Wolters.
Pringgawidagda,
Suwarna. 2003. Upacara Tingkeban. Yogyakarta: Adicita.
Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa. 1995. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Sedyawati,
Edi. Budaya Indonesia:
Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. 2006. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Soebadyo,
Haryati. 2002. Indonesian Heritage: Agama
dan Upacara. Jakarta:
Buku Antarbangsa.
Sulistyani, Ririn. 2000. Kajian
Folklor Upacara Kupatan Jalasutra di Dusun Jalasutra Desa Sri Mulyo Kecamatan
Piyungan Kabupaten Bantul Yogyakarta.Yogyakarta: Skripsi Jurusan PBD FBS
UNY Yogyakarta.
Sura.
1995. Buku Primbon Jawi Lengkap Edisi
Bahasa Indonesia.
Solo: UD. Mayasari.
Sutrisno,
As. 1982. Pathining Basa Jawa. Semarang: Mutiara Permata
Widya.
Widodo, Erna dan Mukhtar. 2000. Konstruksi ke Arah
Penelitian Deskriptif. Yogyakarta:
Avyrouz.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar