Buku ini merupakan penyempurnaan dari "Kakawin Ramayana" dari versi pewayangan Jawa. Versi ini ditulis oleh Sindhunata
dan dimuat di harian KOMPAS setiap hari Minggu pada tahun 1981. Walaupun Sindhunata menulis buku
ini dengan sumber dari kisah Ramayana
yang populer di masyarakat budaya Jawa, kisah ini dapat dibilang baru
karena yang digambarkan dalam buku ini adalah harapan-harapan dan kerinduan
dari Sindhunata sendiri, yang diwarnai dan dilatarbelakangi kebudayaan Jawa di
mana budaya wayang sangat berperan kuat dalam filsafat
kehidupan sehari-hari. Sindhunata menggunakan tokoh-tokoh wayang "Ramayana" yang imajinatif tersebut untuk membantu menuangkan
maksudnya tersebut.
Sindhunata menulis buku ini untuk menggugah dan membuat
pembacanya berpikir tentang harga dan nilai sebuah cita-cita, di mana dia
menampilkan sebuah kisah tentang impian yang seakan-akan tampil sebagai
cita-cita dan sebaliknya. Bagi sebagian pengamat sastra, kisah buku ini adalah
sebuah representasi perlawanan yang lemah dan tak berdaya menghadapi absurditas
nasib dan kekuasaan.
Dengan gaya bahasa sastra Sindhunata yang khas, penuh
diwarnai imajinasi simbolik, dan dengan penggalian makna-makna filosofis yang dalam, buku ini menyajikan
versi Jawa kisah Ramayana,
menjadi sebuah penciptaan kembali kisah tradisional Ramayana ke dalam bentuk
sebuah kisah sastra. Cerita dalam buku ini menampilkan suatu kisah yang
mengandung sesuatu kemustahilan dan asing bagi pengalaman biasa, sesuatu impian
kosong bila dipandang dari kenyataan keseharian manusia. Dengan kekuatan
tersendiri kisah ini menampilkan impian-impian itu menjadi suatu jalinan kisah
insani, yang membuat impian-impian itu tampil sebagai cita-cita yang dirindukan
manusia. Siapa dapat memastikan apakah sebuah kenyataan itu sesungguhnya impian
dan sebuah impian itu justru sesungguhnya kenyataan?
A.
Sinopsis Cerita
Cerita dari buku ini berawal dari Dewi
Kunti yang melahirkan anak laki-laki dari Dewa Surya. Karena ingin menutupi aib
kerajaan karena Dewi Kunti melahirkan bayi tanpa ayah maka bayi itupun dimasukan
kedalam keranjang dan dihanyutkan kedalam sungai. Kemudian bayi itu ditemukan
oleh pasangan suami istri yang bernama Adhirata dan Radhi. Dari sinilah awal
cerita berawal.
Sekutip dari kisah buku: "Terimalah perhiasanku ini,
Nak," kata Dewi
Sukesi.
Dan perempuan tua ini pun mengalungkan untaian kembang kenanga di dada Kumbakarna. Mendadak alam pun membalik ke masa
lalu. Tanpa malu-malu. Jeritan kedukaan menjadi madah syukur sukacita.
Bermain-main anak-anak bajang di tepi pantai, padahal kematian sedang berjalan mengintai-intai.
Gelombang lautan hendak menelan anak-anak bajang, tapi dengan kapal kematian anak-anak bajang malah
berenang-renang menyelami kehidupan. Hujan kembang kenanga di mana-mana, dan
Dewi Sukesi pun tahu, penderitaan itu ternyata demikian indahnya. Di dunia
macam ini, kebahagiaan seakan hanya keindahan yang menipu. Sukesi terbang ke
masa lalunya, ke pelataran kembang kenanga. Ia tahu kegagalannya untuk
memperoleh Sastra Jendra ternyata disebabkan oleh
ketaksanggupannya untuk menderita. Ia rindu akan kebahagiaan yang belum
dimilikinya, dan karena kerinduannya itu ia malah membuang miliknya sendiri
yang paling berharga, penderitaannya sendiri. Dan pada Kumbakarnalah kini
penderitaan itu menjadi raja."
B.
Analisis Transformasi Cerita
a.) Cerita ini merupakan transformasi
cerita dari teks kakawin cerita Ramayana
b.) Transformasi cerita terletak pada isi
cerita, dimana kisah Ramayana menjadi sebuah penciptaan
kembali kisah tradisional Ramayana ke dalam bentuk sebuah kisah sastra. Cerita
dalam buku ini menampilkan suatu kisah yang mengandung sesuatu kemustahilan dan
asing bagi pengalaman biasa, sesuatu impian kosong bila dipandang dari
kenyataan keseharian manusia.
c.) Dalam
buku ini ada ini cerita yang tidak berubah yaitu penggunaan tokoh-tokoh wayang "Ramayana" yang imajinatif tersebut untuk membantu menuangkan
maksud dari cerita
Sindhunata tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar